Setiap muslim seyogyanya senantiasa berinteraksi dengan
Al-Qur'an, tindakan tersebut dilakukan karena Al-Qur'an merupakan sumber hukum
pertama bagi umat Islam.
A.
Macam-Macam Sumber Hukum Islam
Sumber hukum dalam Islam digolongkan menjadi tiga, yaitu
Al-Qur'an, hadis, dan ijtihad ulama, Al-Qur'an dan hadis merupakan sumber hukum
utama. Ijtihad merupakan sumber hukum pelengkap jika ketentuan suatu perkara
dalam Al-Qur'an dan hadis tidak ditemukan.
1.
Al-Qur'an
Al-Qur'an merupakan sumber pertama hukum Islam.
a. Pengertian
Al-Qur'an
Tahukah Anda, apa
arti Al-Qur'an secara bahasa? Al-Qur'an merupakan bentuk masdar dari kata
kerja, qara'a yang berarti bacaan; berbicara tentang sesuatu yang ditulis; atau
melihat dan menelaah. Secara istilah Al-Qur'an menurut DR. Subhi as-Salih adalah Kalam Allah
Swt yang merupakan mukjizat dan diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. ditulis
dalam mushaf, diriwayarkan secara mutawatir, serta membacanya bernilai ibadah. Al-Qur'an
merupakan petunjuk bagi manusia menuju jalan lurus yang diridai Allah Swt.
اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ
يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ
الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًاۙ
Sungguh,
Al-Qur'an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar
gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan
mendapat pahala yang besar, (QS. al-Isra>' [17]: 9)
b. Kedudukan Al-Qur'an
sebagai Sumber Hukum Islam
Al-Qur'an merupakan sumber rujukan hukum utama. Bagaimana kedudukan
Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam? Cermati beberapa prinsip berikut!
1)
Setiap muslim harus menggunakan Al-Qur'an sebagai rujukan
pertama dalam menetapkan hukum dalam kehidupan. atau ketentuan suatu perkara
dalam kehidupan.
2)
Al-Qur'an merupakan sumber hukum utama. Oleh karena itu,
segala ketentuan hukum dari sumber lain yang bertentangan dengan ketentuan
Al-Qur'an dipandang batal dan tidak boleh digunakan. Diperlukan kajian mendalam
sebelum menentukan suatu ketentuan dalam ajaran Islam.
3)
Sebagian ketentuan dalam Al-Qur'an hanya bersifat paris
besar dan ada pula yang telah dijelaskan secara terperinci.
Jika ada perbedaan pendapat
kembalikan kepada Al-Qur’an sesuatu
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا
الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ
اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ
ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
rasul (Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan rasul (sunahnya).
jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. an-Nisa' [4]: 59)
c. Kandungan Hukum
dalam Al-Qur'an
Apa saja kandungan Al-Qur'an yang Anda ketahui? Al-Qur'an memuat
panduan sisi kehidupan manusia. Berdasarkan isinya Al-Qur'an memuat beberapa
aspek berikut:
1)
Ketentuan hukum untuk kehidupan manusia misalnya ketentuan
hukum peribadatan dan muamalah,
2)
Kisah-kisah sejarah para manusia terdahulu di antaranya
kisah para nabi dan umat mereka. Dari kisah mereka umat Islam dapat belajar dan
memperbaiki diri sendiri.
3)
Informasi kehidupan dan alam semesta di antaranya
informasi tentang terbentuknya alam semesta dan penciptaan manusia.
4)
Janji dan ancaman Allah Swt. terhadap seluruh manusia.
Bagaimana klasifikasi kandungan Al-Qur'an berdasarkan aspek
hukum? Berdasarkan aspek hukum Al-Qur'an memuat berbagai ketentuan hukum
berikut:
1)
Hukum yang mengatur keyakinan manusia kepada Allah Swt.
Ketentuan ini terkait dengan aspek keimanan manusia kepada Allah Swt. sebagai
Tuhan Hukum ini disebut hukum akidah atau ilmu tauhid.
2)
Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. dan
sesama manusia, Hukum ini dikenal sebagai hukum syariat atau hukum syara'.
3)
Hukum yang mengatur sikap atau perilaku manusia kepada
Allah Swt., sesama manusia, dan alam sekitar. Hukum ini dikenal sebagai
ketentuan akhlak atau adab.
Dalam pembagian di atas terdapat hukum syariat atau hukum
syara'. Hukum tersebut dapat diperinci dalam pengelompokan berikut:
1)
Hukum yang terkait dengan amal ibadah mahdah seperti shalat,
puasa, zakat, dan haji.
2)
Hukum yang terkait dengan hubungan antarmanusia atau hukum
muamalah. Hukum ini dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Hukum yang
berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan
warisan.
b) Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu
berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai menggadai, dan perkongsian.
c) Hukum yang
berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu berhubungan dengan keputusan,
persaksian, dan sumpah.
d) Hukum yang
berkaitan dengan jinayat, yaitu berhubungan dengan penetapan hukum atas
pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas.
e) Hukum yang
berkaitan dengan hubungan antaragama, yaitu hubungan antar kekuasaan Islam
dengan non-Islam sehingga tercapai kedamaian dan kesejahteraan.
f) Hukum yang
berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda seperti zakat, infak, dan
sedekah.
d. Dalalah Al-Qur'an
Apa makna dalalah Al-Qur'an? Dalalah adalah kandungan pengertian
yang terdapat pada suatu kata atau kalimat dalam nas Al-Qur'an. Dalalah
Al-Qur'an terbagi menjadi dua, yaitu dalalah qat'i dan dalalah zanniy.
Bagaimana perbedaan dua dalalah tersebut? Cermati dua ayat berikut!
۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ
وَلَدٌ ۚ …
Dan
bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. … (Q.S. An-Nisa’: 12)
وَالْمُطَلَّقٰتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ …
Dan
para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali
quru'. ..
(Q.S.
Al-Baqarah: 228)
Apakah kejelasan makna antara dua ayat tersebut sama? Makna
pada Surah an-Nisa' [4] ayat 12 jelas dan tegas menunjukkan bahwa suami
mendapatkan bagian seperdua dari harta warisan istri jika si istri tidak
memiliki anak. Jenis makna pada kandungan ayat ini termasuk dalalah qat'i.
Ayat tersebut menunjukkan makna secara tegas, pasti, dan tidak dapat
dipahami dengan makna lain.
Adapun makna pada Surah al-Baqarah [2] ayat 228 termasuk
contoh dalalah zanniy. Mengapa demikian? Ayat tersebut memiliki makna
belum jelas sehingga perlu ditelaah lebih jauh agar dapat dipahami maksud
dan pengertiannya. Kata apa yang memiliki makna ganda pada ayat tersebut? Kata
quru' pada ayat tersebut memiliki dua pengertian, yaitu keadaan haid dan
keadaan suci. Adanya dua pengertian tersebut menunjukkan bahwa ayat tersebut
memiliki dalalah zanniy atau tidak pasti.
Sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an yaitu hadis. Apa
makna hadis? Bagaimana klasifika dis dalam Islam? Bagaimana kedudukan hadis
sebagai sumber hukum Islam? Temukan jawabannya engan mempelajari uraian
berikut.
2. Hadis dan Sunnah
a. Definisi Hadis
Sumber Hukum Islam yang kedua adalah Hadis. Samakah
hakikat antara hadis dengan sunah? Menurut ahli fikih, hadis adalah segala
perkataan perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad saw. Adapun sunah memiliki
cakupan lebih luas yaitu segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw.
mencakup perkataan, perbuatan, ketetapan pengajaran, sifat, tingkah laku,
perjalanan hidup baik terjadi sebelum masa kerasulan maupun sesudah kerasulan.
Sunah Nabi Muhammad saw. terbagi menjadi tiga, yaitu sunah qauliah (perkataan
Nabi Muhammad saw.), sunah fi'liah (tindakan Nabi Muhammad saw.), dan sunah
taqririah (persetujuan Nabi Muhammad saw. terhadap ucapan atau perbuatan para
sahabat).
Hadis Nabi Muhammad saw. diceritakan secara turun-temurun
dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu, dalam ilmu
hadis dikenal tiga istilah penting berikut:
1) Sanad, yaitu jalur
periwayatan hadis dari seseorang kepada orang lain.
2) Matan, yaitu muatan
atau kalimat hadis tersebut.
3) Rawi, yaitu orang
yang meriwayatkan hadis.
b. Kedudukan Hadis
sebagai Sumber Hukum Islam Hadis
berkedudukan
sebagai sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an. Kedudukan ini
merupakan kehendak Allah Swt. yang telah memerintahkan kita menaati Nabi
Muhammad saw Perintah menaati Nabi Muhammad saw. terdapat pada Surah an-Nisa’
[4] ayat 80.
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ
فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ ۚ وَمَنْ تَوَلّٰى فَمَآ اَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا
ۗ
Barangsiapa menaati
Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa
berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu
(Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.
c.
Fungsi Hadis terhadap Al-Qur'an
Kedudukan hadis berada di bawah Al-Qur'an dalam penentuan
hukum Islam. Adapun fungsi hadis terhadap Al-Qur'an sebagai berikut:
1) Hadis memperinci
ketentuan dalam Al-Qur'an. Contoh fungsi ini adalah perincian tata cara
melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan haji.
2) Hadis memperkuat
hukum yang ditentukan dalam Al-Qur'an. Contoh fungsi ini dapat ditemukan pada
Surah al-Hajj [22] ayat 30. Berkaitan perintah dalam ayat tersebut ada hadis-hadis
yang melarang atau mencela dengan perbuatan atau perkataan dusta
3) Hadis memberikan
penjelasan ketentuan dalam Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an Allah Swt. menyebutkan
keharaman bangkai, darah, dan daging babi, yaitu pada Surah al-Ma'idah [5] ayat
3 yang artinya diharam kan bagimu (memakan) bangkai, darah. daging babi. Dengan
ketentuan tersebut seluruh darah dan bangkai haram untuk dikonsumsi. Ketentuan
ini kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam hadis bahwa tidak semua bangkai dan
darah hewan hukumnya haram. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Dihalalkan
bagi kita dua macam bangkai dan dua
macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang. sedangkan dua
macam darah adalah hati dan limpa … (HR. Ibnu Majah)
4) Hadis menetapkan
hukum yang belum disebutkan dalam Al-Qur'an, misalnya ketentuan cara
membersihkan bejana yang dijilat anjing. Selain itu, dalam Al-Qur'an tidak
dijelaskan bahwa seorang laki-laki dilarang menikahi saudara perempuan
istrinya.
d.
Klasifikasi Hadis
Berdasarkan jalur periwayatan, hadis dibagi menjadi dua,
yaitu hadis mutawatir dan ahad.
1)
Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh para
perawi dengan banyak jalur periwayatan. Dengan demikian, mereka mustahil
sepakat berdusta atau mengarang sendiri hadis tersebut. Sebagian ulama menyebut
syarat bahwa suatu hadis disebut mutawatir jika diriwayatkan melalui minimal
empat puluh jalur periwayatan. Hadis mutawatir dibagi menjadi dua bentuk.
Pertama, hadis mutawatir lafzi, yaitu hadi mutawatir yang redaksinya sama dan
terdapat pada semua jalur periwayatan. Kedua, mutawatir maknawi, yaitu hadis
mutawatir yang memiliki makna sama pada semua jalur periwayatan meskipun
disampaikan dengan kalimat berbeda-beda.
2)
Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu jalur
atau beberapa jalur periwayatan yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Klasifikasi hadis ahad sebagai berikut:
a) Hadis sahih, yaitu
hadis yang memenuhi syarat sempurna untuk dapat diterima dan diakui berasal
dari Nabi Muhammad saw. Syarat tersebut antara lain sanadnya tersambung pada
Nabi Muhammad saw., perawinya orang-orang yang adil (berakhlak baik) dan dhabit
(memiliki hafalan kuat), tidak bertentangan dengan hadis atau dalil yang lebih
kuat, dan tidak memiliki masalah ('illat) atau cacat pada hadis tersebut. Hadis
sahih dapat diterima dan digunakan sepenuhnya sebagai dalil, baik untuk masalah
akidah, ibadah, maupun bidang lain.
b) Hadis hasan, yaitu
hadis yang memenuhi syarat untuk dapat diterima meskipun ada sedikit masalah
yang dapat ditoleransi, misalnya di antara seorang perawi yang hafalannya
kurang kuat, tetapi hadis ini bersesuaian dengan hadis sahih.
c) Hadis dhaif, yaitu
hadis yang tidak memenuhi syarat hadis sahih, misalnya sanadnya tidak
tersambung kepada Nabi Muhammad saw., perawinya tidak adil atau tidak dabit,
serta ada masalah ('illat) pada hadis tersebut.
Sebagian ulama tidak mau menggunakan hadis dhaif sebagai dasar
untuk bidang apapun. Sebagian ulama seperti Imam Malik dan Imam Bukhari
menggunakan hadis dhaif untuk alasan tertentu terkait dengan penetapan hukum
dan amaliah lain jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1)
Hadis tersebut masih diperselisihkan oleh ulama terkait
sahih atau dhaifnya hadis tersebut. Jika seorang ulama hadis menyatakan suatu
hadis sahih dan ulama lain menyatakannya daif, hadis tersebut boleh digunakan
berdasarkan ijtihad ulama yang mensahihkannya.
2)
Amalan yang disebutkan dalam hadis dhaif tersebut masih
tercakup dalam ketentuan yang disebutkan
oleh hadis sahih atau nas Al-Qur'an.
3)
Amalan dalam hadis dhaif sesuai dengan perkara yang
disebutkan dalam hadis sahih atau nas Al-Qur'an.
4)
Amalan yang disebutkan dalam hadis daif disepakati boleh
dilaksanakan oleh para ulama.
Pada saat menggunakan hadis dhaif, para ulama memberikan batasan
tertentu. Hadis yang digunakan di antaranya hadis dhaif yang kadar kedhaifannya
tidak terlalu menyimpang, tidak meyakini bahwa hadis tersebut benar-benar
berasal dari Nabi Muhammad saw. dan tidak digunakan untuk permasalahan akidah.
3.
Ijtihad
Sebagian perkara dalam kehidupan manusia tidak terdapat
secara tersurat pada Al-Qur'an dan hadis. Lalu, bagaimana penentuan hukum
terkait perkara tersebut? Ketentuan tersebut dapat dipelajari melalui ijtihad
para ulama.
a.
Definisi Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab,
ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan segala kemampuan,
bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara
istilah, ijtihad adalah menggunakan pikiran dengan penuh kesungguhan untuk
menemukan hukum atau ketentuan tentang sesuatu hal berdasarkan aturan dalam
Al-Qur'an dan hadis serta kaidah berijtihad.
b.
Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid adalah sebutan untuk orang yang melakukan
ijtihad. Para ulama telah menyebutkan berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh
seseorang yang akan melakukan ijtihad. Syarat tersebut sebagai berikut:
1) Memahami isi
Al-Qur'an dan hadis, terutama berkaitan dengan hukum.
2) Menguasai bahasa
Arab dengan segala ke lengkapannya untuk menafsirkan Al-Qur'an dan hadis.
3) Menguasai ilmu usul
fikih dan kaidah-kaidah fikih yang luas.
4) Mengetahui ijma'
para ulama dan perkembangan hukum dalam Islam.
5) Memahami keadaan
masyarakat, baik dari sisi adat istiadat, kebiasaan, sosial, hingga psikologi
masyarakat.
Adapun dalil berijtihad dijelaskan dalam hadis berikut:
إذا حَكَمَ الحاكِمُ فاجْتَهَدَ ثُمَّ
أصابَ فَلَهُ أجْرانِ، وإذا حَكَمَ فاجْتَهَدَ ثُمَّ أخْطَأَ فَلَهُ أجْرٌ
"Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan
suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, ia mendapatkan dua pahala. Dan
apabila dia berijtihad kemudian ijtihadnya salah, ia mendapat satu
pahala." (H.R. Bukhari dan Muslim)
c.
Kedudukan Ijtihad
Hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadis. Pernyataan tersebut dijelaskan dalam
hadis Dari Muaz bahwa Nabi Muhammd saw ketika mengutusnya ke Yaman, ia
bersabda, "Jika ada satu permasalahan disodorkan kepadamu. bagaimana kamu
memutuskannya?", ia menjawab, "Kuputuskan dengan kitabullah,"
beliau bertanya, "Maka bagaimana jika tidak ada dalam kitabullah?. ia
menjawab, "Kuputuskan dengan sunah Rasulullah saw,, beliau bertanya,
"Bagaimana jika tidak ada dalam sunah Rasulullah saw ?", la menjawab,
"Aku akan berijtihad dengan pendapatku tidak lebih." la berkata bahwa
saat itu beliau menepuk dadanya, kemudian beliau berkata, "Segala puji
bagi Allah yang memberi taufik kepada utusan rasul-Nya dengan sesuatu yang
disenangi oleh rasul-Nya." (H.R. Darimi)
d. Cara-Cara Ijtihad
litihad dilakukan dengan metode-metode tertentu, diantaranya:
1) Kias, yaitu
mengukur suatu perkara yang tidak ada hukumnya dengan perkara lain yang telah ada
hukumnya berdasarkan persamaan "illat yang ada. Contohnya pengkiasan
khamar dengan minuman keras dan narkotika. Keduanya mengandung zat yang
memabukkan sehingga haram dikonsumsi. Pengharaman minum minuman keras
dijelaskan dalam Surah al-Ma'idah [5] ayat 90.
2) Istihsan yaitu
menetapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an dan
hadis berdasarkan kepentingan umum atau keadilan. Sebagai contoh pada dasarnya
Allah Swt. telah menentukan bahwa kita tidak boleh melakukan jual beli jika
barang yang akan dijual belum ada. Akan tetapi, sering kita temukan produsen
tidak memiliki modal untuk membuat produk yang hendak dijualnya. Akhirnya,
pembeli memberikan bayaran lebih dahulu kemudian produsen membuat barang.
Praktik seperti ini pada dasarnya tidak boleh, tetapi untuk kemaslahatan
bersama menjadi diperbolehkan.
3) Istishab, yaitu
meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada hingga ada dalil lain yang
mengubah kedudukan hukum tersebut. Biasanya kondisi tersebut terjadi karena
adanya perubahan keadaan pada pelaku atau objek hukum tersebut. Contohnya
seseorang yang telah berwudhu, tetapi ragu ia telah buang angin atau tidak.
Dalam keadaan tersebut, ia boleh berkeyakinan bahwa ia tetap dalam keadaan suci
sampai ia yakin bahwa wudhu'-nya telah batal.
4) Maslahah mursalah,
yaitu menetapkan hukum suatu masalah berdasarkan kemaslahatan umum yang dituju
oleh nas Al-Qur'an dan hadis meskipun tidak secara jelas menunjukkan masalah
tersebut. Sebagai contoh pada masa Rasulullah saw. umat Islam dilarang
menuliskan Al-Qur'an, kecuali oleh beberapa sahabat. Pada masa al-Khulafa'uRasyidin
setiap muslim giat mempelajari Al-Qur'an. Oleh karena itu, menghadirkan
Al-Qur'an merupakan kebutuhan masyarakat muslim. Melihat kebutuhan ini dan
kenyataan banyak penghafal Al-Qur'an yang gugur dalam perang, para sahabat
sepakat menuliskan mushaf Al-Qur'an untuk kemaslahatan kaum muslimin.
5) Al-'Urf yaitu
tindakan membolehkan tradisi atau kebiasan yang berlaku dalam masyarakat selama
tidak bertentangan dengan aturan pada Al-Qur'an dan hadis. Dalam Islam, salah
satu rukun jual beli adalah ijab kabul antara penjual dan pembeli. Meskipun
ijab kabul tidak terlaksana, praktik di toko swalayan boleh dilakukan karena
telah menjadi kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan aturan dasar
jual beli yaitu rela sama rela.
Ijtihad digunakan oleh para ulama
untuk menentukan hukum dan menjawab permasalahan yang dialami masyarakat.
Adakalanya seorang mujtahid berijtihad sendirian. Ijtihad tersebut dikenal
dengan istilah ijtihad fardi atau ijtihad seorang diri. Dengan berijtihad
sendiri mujtahid tersebut mengeluarkan fatwa berdasarkan ijtihad tersebut. Ijtihad
fardi dilakukan oleh para imam mazhab seperti Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam
Maliki, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Selain ijtihad fardi, dikenal ijtihad ijma'i atau ijma'.
Dalam hal ini para mujtahid bersama-sama berijtihad memutuskan suatu masalah.
Pada saat mereka berijtihad dan menemukan hasil yang sama, terjadilah ijma'
atau kesepakatan di kalangan para mujtahid. Ijma' terbagi menjadi dua bentuk.
Pertama, ijma' qauli, yaitu ijma' di kalangan ulama yang persetujuan setiap
ulama di dalamnya disampaikan secara tegas dengan kata-kata atau tulisan.
Kedua, ijma' sukuti, yaitu ijma' yang diperoleh dengan diamnya mujtahid lain
terhadap keputusan yang diambil oleh seorang mujtahid. Sikap diam tersebut
dipandang sebagai persetujuan atas keputusan yang telah diambil. Setelah
memahami tiga sumber hukum Islam seorang muslim hendaknya mempelajari lima
macam hukum taklifi. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan
dengan perintah dan larangan.
lima macam hukum taklifi berikut
1.
Wajib, yaitu tuntunan yang jika dilakukan pelakunya akan
mendapat pahala dan jika ditinggalkan, ia mendapat dosa, misalnya melaksanakan şhalat fardu.
2. Sunah, yaitu tuntunan yang jika dilakukan pelakunya mendapat pahala, sedangkan jika ditinggalkan, ia tidak berdosa, misalnya melaksanakan salat tahajud.
3. Haram, larangan
yang wajib ditinggalkan seorang muslim. Jika ia melakukan larangan tersebut, ia
berdosa, misalnya berjudi dan minum minuman keras.
4. Makruh, yaitu
sesuatu yang tidak disukai dalam Islam. Jika amalan tersebut dilakukan,
pelakunya tidak berdosa, tetapi jika ditinggalkan ia mendapat pahala, misalnya
makan dan minum sambil berdiri.
5. Mubah, sesuatu yang
boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan, misalnya minum teh dan makan roti.

No comments:
Post a Comment